Welcome to my blog

Thank's for your visit.. ^.^

Senin, 17 September 2012

KORTISOL oh KORTISOL bikin STRES


Menurut buku yang pernah aku baca *sambil benerin kacamata*  – GENOM karangan Matt Ridley, bahwa ada sebuah gen pada kromosom nomor 10 (kr 10) bernama CYP17. Gen ini membuat sebuah enzim yang memungkinkan tubuh mengubah kolesterol menjadi kortisol *mulai jelimet dengan kata-kata ilmiah*. 

Langsung aja deh ke Kotisol. Kortisol merupakan suatu hormon yang digunakan di hampir setiap sistem dalam tubuh. Katanya bisa  memadukan tubuh dan pikiran dengan mengubah-ubah konfigurasi otak gitu.. 


Si kortisol ini bakal mengganggu sistem kekebalan, mengubah kepekaan telinga, hidung, mata serta mengubah fungsi-fungsi tubuh yang lain. Bener-bener deh It’s the killer hormon, hihihihi... Ketika banyak kortisol berkeliaran di dalam pembuluh darah, berarti kamu lagi mengalami STRES. Kortisol dan stres akhirnya dianggap sinonim.. Tepatnya kalo bahas kortisol pasti identik ngobrolin stres.

Stres disebabkan oleh dunia luar. Ujian sidang yang udah dekat, kehilangan orang yang dicintai, atau waktu wisuda yang tinggal beberapa hari lagi #curhatdikit -___-  kalo boleh aku kasih kesimpulan, faktor eksternal stres itu ada 3: galau, risau, gundah.. Beda-beda tipis diantara ketiganya. Ibaratnya galau itu molekul sederhana: monosakarida. Kalo risau molekul hampir kompleks: disakarida. Kalo gundah molekul kompleks: polisakarida. Hahaha... Ngerti? Aku engga... :D

Pemicu stres jangka pendek menyebabkan kenaikan langsung kadar epinefrin dan norepinefrin, hormon-hormon yang membuat degup jantung lebih kencang dan kaki menjadi dingin. Dag-dig-dug lebih dari biasanya, kaki udah kayak es batu, ditambah tangan gemeteran tapi hati riang gembira sih gak apa-apa, hehehe... #kode . Tapi kalo hatinya ikutan beku ditambah muka pucet, nah itu tanda-tanda mau ketemu dosbing skripshit paling killer seuniversitas. Hahaha... 

Pemicu stres berjangka panjang dapat menyebabkan peningkatan kortisol lambat tapi terus-menerus. Salah satu pengaruhnya yang paling menghebohkan  yaitu terganggunya fungsi sistem kekebalan tubuh. Ada bukti jelas sekali bahwa orang yang sedang menyiapkan diri menghadapi sebuah ujian penting dan telah menunjukan gejala-gejala stres, lebih berpeluang menderita flu dan infeksi-infeksi lain. Itu karena salah satu efek kortisol : mengurangi aktivitas, jumlah dan masa hidup lomfosit – sel-sel darah putih. Begitulah kata si mister Ridley..

Lalu, timbulah pertanyaan. Siapakah yang mengaktifkan dan memutuskan pelepasan kortisol hingga bisa sebegitu berkeliarannya dalam tubuh?Apakah gen-gen itu? Si CYP17? Tapi kan gen bukan penyebab stres. Ujian sidang yang udah dekat, kehilangan orang yang dikasihi gak langsung laporan terhadap gen. Itu informasi yang diproses dalam otak. Jadi, otak yang berkuasa? Engga juga, temans...

Stres adalah sebuah reaksi yang gak pernah dikehendaki oleh siapapun dan gak disadari, yang menyiratkan bahwa ujiannlah yng berkuasa bukan otak. Siapa juga yang mau stres kan? Tapi terkadang kita gak bisa menghindarinya..
Tiap orang beda-beda dalam ke-rentan-an terhadap stres. Sebagian orang menganggap ujian yang udah dekat sangat menakutkan, tapi ada juga yang menanggapinya dengan santai.. Entah dimana letak perbedaan dari produksi, pengendalian dan pelepasan terhadap kortisol. Yang jelas, orang yang rentan terhadap stres pasti punya gen yang agak berbeda dengan orang yang bersikap santai..

Otak dan tubuh adalah bagian dari sistem yang sama. Kalo otak, bereaksi terhadap stres psikologis, merangsang pelepasan kortisol dan kortisol menghambat reaktivitas kekebalan, maka infeksi virus yang sudah ada tetapi tidak aktif bisa jadi meledak, belum lagi ditambah muncul virus-virus baru -____- Gejala-gejalanya mungkin fisik (read: tepar, ngedrop, atau sejenisnya) tapi penyebabnya psikologis. *Tiba-tiba inget obrolan orang-orang sama orang yang lagi sakit: cepet sembuh jangan banyak fikiran* mungkin ini maksudnya kali ya.. hohoho...

Menurut si Ridley ini, ada beberapa bukti yang cukup nyata. Para perawat yang cenderung pemurung lebih sering menderita penyakit flu daripada perawat lain. Orang yang mudah cemas lebih mudah terkena wabah herpes daripada orang-orang periang. Oh, Tuhan... gak mau cepet kena herpes... jadi orang periang aja deh... Mereka yang kelewat sedih karena kehilangan orang dikasihi mengalami sistem pelemahan sistem kekebalan tubuh selama beberpa minggu seusai kejadian. Wajar pemirsah, asal jangan sampe bertahun-tahun aja.. Balik lagi: move on perlu waktu. Hahahah.. #apasih. Anak-anak yang dalam beberapa minggu terakhir terpaksa menyaksikan kedua orangtua mereka bertengkar seru lebih rentan terhadap infeksi virus. Orang-orang dengan tekanan kondisi psikologis berat hampir sepanjang hidup mereka lebih mudah terserang batuk-flu dibanding orang yang bahagia.

Ada orang yang melakukan pekerjaan yang sangat menegangkan, atau berulang-ulang atau mengalami pengalaman sangat mengerikan akan menaikan kadar kortisol dan selanjutnya kortisol merjarela dalam tubuh. Ada juga kenyataan yang gak perlu diragukan lagi bahwa kita dapat memicu aktivitas di “pusat kebahagiaan” dalam otak dengan sengaja tersenyum, sebagaimana kita dapat tersenyum membayangkan sesuatu yang membahagiakan. Kita sungguh dapat ngerasa lebih baik dengan tersenyum... artinya, tubuh kita dapat kita atur melalui perilaku.. Keep smile :)