Menurut buku yang pernah aku baca *sambil benerin
kacamata* – GENOM karangan Matt Ridley,
bahwa ada sebuah gen pada kromosom nomor 10 (kr 10) bernama CYP17. Gen ini
membuat sebuah enzim yang memungkinkan tubuh mengubah kolesterol menjadi
kortisol *mulai jelimet dengan kata-kata ilmiah*.
Langsung aja deh ke Kotisol. Kortisol merupakan suatu
hormon yang digunakan di hampir setiap sistem dalam tubuh. Katanya bisa memadukan tubuh dan pikiran dengan mengubah-ubah
konfigurasi otak gitu..
Si kortisol ini bakal mengganggu sistem kekebalan,
mengubah kepekaan telinga, hidung, mata serta mengubah fungsi-fungsi tubuh yang
lain. Bener-bener deh It’s the killer hormon, hihihihi... Ketika banyak
kortisol berkeliaran di dalam pembuluh darah, berarti kamu lagi mengalami
STRES. Kortisol dan stres akhirnya dianggap
sinonim.. Tepatnya kalo bahas kortisol pasti identik ngobrolin stres.
Stres disebabkan oleh dunia luar. Ujian sidang yang udah
dekat, kehilangan orang yang dicintai, atau waktu wisuda yang tinggal beberapa
hari lagi #curhatdikit -___- kalo boleh aku
kasih kesimpulan, faktor eksternal stres itu ada 3: galau, risau, gundah..
Beda-beda tipis diantara ketiganya. Ibaratnya galau itu molekul sederhana:
monosakarida. Kalo risau molekul hampir kompleks: disakarida. Kalo gundah
molekul kompleks: polisakarida. Hahaha... Ngerti? Aku engga... :D
Pemicu stres jangka
pendek menyebabkan kenaikan
langsung kadar epinefrin dan norepinefrin, hormon-hormon yang membuat degup
jantung lebih kencang dan kaki menjadi dingin. Dag-dig-dug lebih dari biasanya,
kaki udah kayak es batu, ditambah tangan gemeteran tapi hati riang gembira sih
gak apa-apa, hehehe... #kode . Tapi kalo hatinya ikutan beku ditambah muka
pucet, nah itu tanda-tanda mau ketemu dosbing skripshit paling killer
seuniversitas. Hahaha...
Pemicu stres berjangka
panjang dapat menyebabkan
peningkatan kortisol lambat tapi terus-menerus. Salah satu pengaruhnya yang
paling menghebohkan yaitu terganggunya
fungsi sistem kekebalan tubuh. Ada bukti jelas sekali bahwa orang yang sedang
menyiapkan diri menghadapi sebuah ujian penting dan telah menunjukan
gejala-gejala stres, lebih berpeluang menderita flu dan infeksi-infeksi lain. Itu karena salah satu efek kortisol :
mengurangi aktivitas, jumlah dan masa hidup lomfosit – sel-sel darah putih. Begitulah
kata si mister Ridley..
Lalu, timbulah pertanyaan. Siapakah yang mengaktifkan dan
memutuskan pelepasan kortisol hingga bisa sebegitu berkeliarannya dalam
tubuh?Apakah gen-gen itu? Si CYP17? Tapi kan gen bukan penyebab stres. Ujian
sidang yang udah dekat, kehilangan orang yang dikasihi gak langsung laporan
terhadap gen. Itu informasi yang diproses dalam otak. Jadi, otak yang berkuasa?
Engga juga, temans...
Stres adalah sebuah reaksi yang gak pernah dikehendaki
oleh siapapun dan gak disadari, yang menyiratkan bahwa ujiannlah yng berkuasa
bukan otak. Siapa juga yang mau stres kan? Tapi terkadang kita gak bisa
menghindarinya..
Tiap orang beda-beda dalam ke-rentan-an terhadap stres.
Sebagian orang menganggap ujian yang udah dekat sangat menakutkan, tapi ada
juga yang menanggapinya dengan santai.. Entah dimana letak perbedaan dari
produksi, pengendalian dan pelepasan terhadap kortisol. Yang jelas, orang yang rentan terhadap stres pasti
punya gen yang agak berbeda dengan orang yang bersikap santai..
Otak dan tubuh adalah bagian dari sistem yang sama. Kalo
otak, bereaksi terhadap stres psikologis, merangsang pelepasan kortisol dan
kortisol menghambat reaktivitas kekebalan, maka infeksi virus yang sudah ada
tetapi tidak aktif bisa jadi meledak, belum lagi ditambah muncul virus-virus
baru -____- Gejala-gejalanya mungkin fisik (read: tepar, ngedrop, atau
sejenisnya) tapi penyebabnya psikologis. *Tiba-tiba inget obrolan orang-orang
sama orang yang lagi sakit: cepet sembuh jangan banyak fikiran* mungkin ini
maksudnya kali ya.. hohoho...
Menurut si Ridley ini, ada beberapa bukti yang cukup
nyata. Para perawat yang cenderung pemurung lebih sering menderita penyakit flu
daripada perawat lain. Orang yang mudah cemas lebih mudah terkena wabah herpes
daripada orang-orang periang. Oh, Tuhan... gak mau cepet kena herpes... jadi
orang periang aja deh... Mereka yang kelewat sedih karena kehilangan orang
dikasihi mengalami sistem pelemahan sistem kekebalan tubuh selama beberpa
minggu seusai kejadian. Wajar pemirsah, asal jangan sampe bertahun-tahun aja..
Balik lagi: move on perlu waktu.
Hahahah.. #apasih. Anak-anak yang dalam beberapa minggu terakhir terpaksa
menyaksikan kedua orangtua mereka bertengkar seru lebih rentan terhadap infeksi
virus. Orang-orang dengan tekanan kondisi psikologis berat hampir sepanjang
hidup mereka lebih mudah terserang batuk-flu dibanding orang yang bahagia.
Ada orang yang melakukan pekerjaan yang sangat
menegangkan, atau berulang-ulang atau mengalami pengalaman sangat mengerikan
akan menaikan kadar kortisol dan selanjutnya kortisol merjarela dalam tubuh.
Ada juga kenyataan yang gak perlu diragukan lagi bahwa kita dapat memicu
aktivitas di “pusat kebahagiaan” dalam otak dengan sengaja tersenyum,
sebagaimana kita dapat tersenyum membayangkan sesuatu yang membahagiakan. Kita
sungguh dapat ngerasa lebih baik dengan tersenyum... artinya, tubuh kita dapat
kita atur melalui perilaku.. Keep smile :)